Disebut lah seorang Kepala Desa Buyui bernama Bintang, tinggal di sebuah perkampungan yang terletak di bantaran sungai Ayuh yang di kelilingi bukit dan pegunungan.
Diberi nama Desa Buyui oleh Pemerintah Belanda pada waktu itu, ternyata mempunyai arti khusus dalam sandi Kolonial Belanda. Buyui artinya adalah Batu Bara, dan Pemerintah Belanda mengetahui bahwa di wilayah Desa tersebut banyak terkandung Batu Bara.
Sementara gelar seorang Kepala Desa dimasa itu, akrab disapa warganya dengan sebutan Pembakal.
Pembakal Bintang, bersama warganya sebagai penghuni Desa Buyui tersebut, menata kehidupan dengan mengandalkan hasil hutan dan Sungai Ayuh.
Bagi warga setempat, Sungai Ayuh merupakan akses transportasi satu-satunya yang dapat menghubungkan Desa mereka dengan Desa lainnya. Alat transportasi yang digunakan hanya perahu dayung.
Pada tahun 1933, secara kebetulan Sungai Ayuh dilintasi oleh rombongan perahu dari keturunan kerajaan Banjar. Para bangsawan itu bertujuan untuk bergerilya, merangkul warga pribumi untuk berjuang melawan penjajah.
Mungkin saja, karena para penumpang dalam perahu tersebut melihat bahwa ditengah hutan belantara ada sebuah perkampungan, maka perahu dari wilayah selatan itu pun bertambat dan ketua rombongan menemui Pembakal serta meminta ijin agar diperkenankan beristirahat di Desa Buyui.
Kedatangan rombongan pejuang keturunan kerajaan Banjar, nampaknya disambut ramah oleh Pembakal Bintang dan warganya. Bahkan, pada kenyataan nya mereka sempat tinggal beberapa hari di Desa Buyui.
Selama keberadaan pasukan kerajaan Banjar yang di pimpin oleh seseorang yang bisa kita sebut panglima ke Desa itu, banyak warga setempat yang merasa tertolong dari berbagai macam penyakit, baik medis maupun non medis.
Rupanya, diantara sejumlah Musafir itu, ada beberapa orang mantan Tabib Istana yang turut serta dalam rombongan, dan tentunya memiliki keahlian untuk memberikan pengobatan terhadap orang sakit.
Saat itu, Pembakal Bintang sangat merasa terbantu dengan kedatangan tamu istimewa yang tak undang sebelumnya.
Sebagai bentuk ucapan terimakasih yang setinggi tingginya kepada pasukan dan keturunan dari Kerajaan Banjar itu, Pembakal Bintang memberikan penghargaan dengan menggelar acara syukuran dan mengangkat Pangeran sebagai saudara.
Sementara, Sang pemimpin pasukan memberikan hadiah kepada Pembakal Bintang berupa Baju Kehormatan dari Kerajaan Banjar disertai sebilah Keris dan sebilah Tobak sebagai lambang perjuangan untuk melawan penjajah.
Beberapa hari dari pertemuan dan kebersamaan antara pihak kerajaan Banjar dengan Pembakal Bintang dan warga setempat, sepertinya tidak berakhir disitu. Namun melahirkan cerita baru dan Pembakal Bintang banyak mendapat ilmu dan pengetahuan dari juriat kerajaan.
Alhasil, Pembakal Bintang beserta keluarganya dan sebagian besar warga Desa Buyui berpindah keyakinan untuk memeluk Agama Islam. Mereka mengucap Syahadat yang disaksikan oleh para Punggawa, kerabat dan keturunan Raja Banjar.
Diketahui, Pembakal Bintang memiliki empat orang anak. Yang sulung seorang laki- laki bernama Reman dan sudah berkeluarga. Karena Reman sudah berkeluarga, maka dia berhak mengatur hidupnya sendiri, dan berhak pula untuk memilih Agama atau keyakinan nya sendiri.
Maka tidak salah, jika sebagian besar anak cucu dan keturunan Pembakal Bintang ini berbeda-beda keyakinan. Kerena sebagian telah memilih keyakinan atau kepercayaan lain. Seperti Agama Katolik, Kristen Protestan atau ada yang masih bertahan dengan kepercayaan nenek moyang mereka terdahulu.
Sementara yang masih tinggal bersama Pembakal Bintang dan Istrinya Solimah ada tiga orang. Yaitu, Kabariah anak gadis berusia sepuluh tahun. Kemudian, Rait yang berganti nama Muslimnya Syahran laki-laki masih berusia tiga tahun dan Mastijah anak perempuan masih berusia satu tahun.
Kendati berbeda Agama dan keyakinan, dalam keluarga Pembakal Bintang tetap rukun damai dan saling mencintai satu sama lainnya.
Pemerintah Desa Buyui yang masih kental dengan aturan Kolonial Belanda pada masa itu, kemudian memperluas wilayahnya dengan membuka perkampungan baru yang kini menjadi sebuah Desa yang diberi nama Desa Bintang Ara.
Pembakal Bintang tutup usia sekitar tahun 1955. Beliau dimakamkan di tempat pemakaman keluarga di Desa Buyui yang kini berubah nama menjadi Desa Patas II.
Dari nama Pembakal Bintang ini lah, diabadikan menjadi salah satu nama Kecamatan yang ada di Kabupaten Barito Selatan. Yakni Kecamatan Gunung Bintang Awai dengan Ibu Kotanya Tabak Kanilan. (Red1)
Sumber :
1. H. Saladin Syahran (Cucu Alm Pembakal Bintang) Lahir 1950.
2. Harlan Warga Desa Patas II (Cucu Alm Pembakal Bintang).
Catatan : Untuk melengkapi tulisan dalam cerita pendek ini, Penulis mengharap agar mendapat tanggapan serta masukan dari keluarga dan keturunan Pembakal Bintang atau pengamat sejarah.
